Gambar: bahaiforums.com
“Semakin tinggi ilmu seseorang, maka semakin tinggi toleransinya.” (Abdurrahman Wahid)
Siang hari yang panas dan keringat yang mengucur tak menyurutkan semangat Alma untuk bercerita. Gadis berusia 16 tahun itu sesekali tersenyum sambil menceritakan kehidupannya di sekolah. Gadis pemilik nama lengkap Alma Moureen itu adalah siswa kelas 10 di SMAN 1 Gambiran Banyuwangi. Jika dilihat sekilas, tidak ada yang berbeda dari Alma dengan kebanyakan siswa lainnya.
Satu-satunya hal yang menjadikannya berbeda adalah karena ia seorang penganut agama Baha’i dan itulah yang sedang ia ceritakan siang itu pada kru LPM Al-Maslahah. Alma bercerita pengalamannya menjadi salah satu dari dua orang siswa penganut agama Baha’i yang ada di sekolahnya. Ia menceritakan bagaimana ia menjalani kegiatan sehari-harinya di sekolah sebagai minoritas.
Lembaga pendidikan harusnya bukan sekedar tempat untuk meningkatkan pengetahuan. Namun sarana untuk menumbuhkan nilai-nilai kemanusian salah satunya dengan menghargai perbedaan. Setidaknya pemikiran seperti itulah yang selama ini dipegang oleh Alma.
Meski tergolong minoritas karena menganut agama Baha’i, Alma mengaku tidak mendapatkan kesulitan ketika akan mendaftar ke sekolah. Pihak sekolah cukup terbuka dan menawarkan untuk memilih mata pelajaran agama yang akan diikuti meskipun ia dengan jelas mengakui dirinya adalah penganut agama Baha’i.
“Ada Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Agama Buddha, dan Pendidikan Agama Kristen, itu yang saya ketahui. Saya ikut yang agama Buddha,” tutur Alma ketika dihubungi lewat pesan teks.
Bagi Alma, pendidikan agama apa pun sama karena sumbernya dari Tuhan yang sama. Jadi tidak ada alasan khusus baginya dalam memilih pendidikan agama Buddha di sekolah. Hal itu pun sudah ia diskusikan dengan kedua orang tuanya.
Pendidikan agama memang menjadi tantangan karena sekolah belum menyediakan pendidikan agama khusus untuk siswa penganut agama Baha’i. Hal ini berkaitan dengan legalitas agama Baha’i yang belum diakui di Indonesia. Meskipun sudah terbit putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 terkait pengakuan kolom identitas kependudukan bagi penganut aliran kepercayaan dalam pengujian UU Administrasi kependudukan, namun praktiknya masih banyak masyarakat penganut agama lokal termasuk Baha’i yang masih kesulitan dalam mendapatkan identitas di adminduk.
Ajaran agama Baha’i sendiri pertama kali di bawa oleh Baha’ullah yang berasal dari Persia. Agama Baha’i mengusung nilai-nilai kesatuan umat manusia dan keselarasan di antara agama-agama sebagai misi. Kelompok penganut agama Baha’i sempat mendapatkan penolakan ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Keppres No. 264 Tahun 1962 tentang pelarangan tujuh organisasi yang dianggap tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia dan menghambat penyelesaian revolusi.
Eksistensi penganut Baha’i di Indonesia sedikit mendapatkan ruang setelah diterbitkannya Keppres No 69 Tahun 2000 tentang Pencabutan Keppres No 264 Tahun 1962 oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Keppres tersebut menyatakan bahwa pembentukan organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan merupakan hak asasi setiap warga negara. Meski begitu, sampai saat ini penganut Baha’i masih belum mendapatkan akses pendidikan keagamaan secara formal sesuai keyakinan yang mereka ikuti.
“Karena di antara kami tidak ada prasangka jadi mereka ya welcome dan santai-santai saja sih kak. Guru dan teman tidak pernah membeda-bedakan,” cerita Alma.
Tidak hanya Alma, hal yang sama juga dirasakan oleh temannya, Faisal Aslani. Ia mengaku tidak ada kesulitan untuk melakukan pendaftaran ke sekolah meskipun ia mengakui identitasnya sebagai penganut agama Baha’i. Ia juga memilih pendidikan agama Buddha di sekolah karena belum adanya pendidikan agama Baha’i.
“Karena keingin tahuan saya terhadap pendidikan agama Buddha di sekolah, bukan berarti saya tidak ingin yang lain. Sebenarnya tujuan agama semua kan sama,” kata Faisal saat ditanya tentang alasannya memilih pendidikan agama Buddha di sekolah.
Alma juga menuturkan bahwa di sekolahnya tidak ada guru yang beragama Baha’i. Sejauh ini pihak sekolah tetap toleran dalam memberikan izin jika ada kegiatan agama tertentu.
Ilmu di Institut Ruhi
Sekalipun Alma dan Faisal tidak mendapatkan fasilitas pendidikan agama Baha’i di sekolah, mereka punya cara tersendiri untuk mempelajari agama mereka secara lebih mendalam yaitu dengan bergabung di Institut Ruhi
Institut Ruhi adalah lembaga pendidikan bersifat non formal yang menjadi sarana untuk pembelajaran agama Baha’i yang belum tersedia dalam sistem pendidikan formal di Indonesia. Institut Ruhi mulai diperkenalkan di wilayah Indonesia sejak tahun 2000an.
Alma bercerita, di Institut Ruhi mereka mendapatkan pelajaran untuk melakukan pengabdian dan mengejar tujuan moral ganda yaitu pertumbuhan rohani dan intelektual. Selain itu juga ada kegiatan diskusi mengenai tulisan-tulisan suci dan sejarah.
Pembelajaran Institut Ruhi sendiri dilakukan satu kali seminggu dengan hari dan jam sesuai kesepakatan kelompok. Kegiatan belajar dapat dilakukan di camp. Alma menuturkan bahwa camp yang dimaksud adalah rumah ke rumah sesuai kesepakatan. Di camp itu lah Alma dan teman satu kelompoknya yang berjumlah 9 orang bisa belajar agama Baha’i.
“Saat usia anak-anak, kita ada Pendidikan Anak, kalau remaja ada Pemberdayaan Rohani Remaja. Kalau aku sekarang sedang belajar buku institut,” tambah Alma.
Ia sudah mengikuti pendidikan anak sejak usia 6 tahun. Sementara sebelum usia itu, ia belajar bersama orang tuanya seperti yang dilakukan anak-anak Baha’i pada umumnya. Saat berusia 11 sampai 14 tahun, mereka masuk pendidikan rohani remaja. Setelah itu, mereka belajar buku institut yang terdiri dari sepuluh buku. Saat ini, Alma sedang belajar buku 5.
Alma menambahkan yang dimaksud dengan buku institut adalah buku pelajaran yang disediakan sesuai kurikulum institut. Buku ini terdiri dari sepuluh buku yaitu buku 1 tentang Refleksi Kehidupan Roh, buku 2 tentang Bangkit untuk Mengabdi, buku 3 tentang Mengajar Kelas Anak-Anak, buku 4 tentang Manifestasi Kembar (Perwujudan Sang Bab dan Baha’ullah), buku 5 tentang Mengeluarkan Kekuatan Remaja, buku 6 tentang Mengajar Penyebab, buku 7 tentang Berjalan Bersama di Jalan Pengabdian, buku 8 tentang Perjanjian Bahá'u'lláh, buku 9 tentang Mendapatkan Perspektif Sejarah dan buku 10 tentang Membangun Komunitas yang Bersemangat. Buku-buku itu dibelikan oleh orang tua mereka dan sudah dalam terjemahan bahasa Indonesia
Tidak hanya Alma, Faisal pun punya cerita sendiri. Selama tidak mendapatkan pendidikan agama Baha’i di sekolah, Faisal juga belajar agama Baha’i di Institut Ruhi. Ia mengaku pembelajaran di Institut Ruhi justru sangat ia butuhkan untuk lebih meningkatkan kemampuannya dalam hal rohani. Sama dengan Alma, saat ini Faisal sedang belajar buku 5.
“Belajar meningkatkan kapasitas untuk tumbuh secara rohani dan intelektual yang nantinya kita bisa menyumbang pada perbaikan masyarakat. Sangat membantu untuk bisa mengabdi di lingkungan sekitarku khususnya,” tutur Faisal tentang pendidikan Baha’i di Institut Ruhi.
Di daerah Banyuwangi sendiri sudah terdapat 5 kelompok pembelajaran Institut Ruhi yang sedang berjalan. Rangkaian kursus ini diinisiasi oleh Institut Baha’i Indonesia tingkat nasional yang berada di bawah naungan Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia.
Sistem pembelajaran berbentuk diskusi yang dipandu oleh seorang tutor dan terbuka bagi semua orang meskipun bukan penganut agama Baha’i. Tempat dan waktu pembelajaran juga fleksibel sesuai kelompok masing-masing.
Saat ini sudah ada 10 rangkaian kursus yang sudah diperkenalkan di Indonesia dan seiring proses ini akan terus meningkat” tutur Riaz Muzaffar, salah satu masyarakat Baha’i.
Materi yang dibahas dalam rangkaian kursus agama Baha’i sesuai dengan kurikulum yang sudah ada. Para peserta akan dibantu untuk mengembangkan berbagai kapasitas rohani dan intelektual lainnya. Setiap rangkain ini tentunya akan terus berkembang dari waktu-waktu seiring pengalaman dari masyarakat Baha’i seluruh dunia yang juga terus berkembang.
Terlepas dari adanya pendidikan agama Baha’i melalui Institut Ruhi, masyarakat Baha’i tentu berharap pendidikan agama mereka bisa masuk dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini sebagaimana tercantum dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 12 Ayat 1 yang menyatakan bahwa setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajarkan pendidik seagama.
“Majelis sudah membuat kurikulum pendidikan agama Baha’i dan sudah diserahkan ke Kemendikbud. So far, belum ada tindak lanjut dari kemendikbud karena masih menunggu kepastian status. Pemerintah belum bisa kasih jawaban jika status hak sipil Baha’i belum ada kejelasan,” ungkap Rina dari Humas Majelis Rohani Nasional Baha’i.
Kondisi di beberapa sekolah, kata Rina, pendidikan anak Baha’i juga bervariasi akibat tidak ada kebijakan nasional tentang hal tersebut. Sebagian anak Baha’i diizinkan untuk dapat nilai Baha’i sendiri dari rumah dan diserahkan ke sekolah. Sedangkan sebagian lainnya mengikuti pelajaran salah satu agama di sekolah sebagaimana yang dirasakan oleh Alma dan Faisal.
Usaha memasukkan pendidikan agama Baha’i dalam kurikulum pendidikan nasional sejauh ini masih terkendala legalitas terkait agama Baha’i itu sendiri. Selama pemerintah belum memberikan pengakuan agama Baha’i sebagai salah satu agama di Indonesia, maka Kemendikbud juga belum bisa memasukkannya sebagai kurikulum pendidikan nasional. Meski begitu, harapan tersebut tetap ada di kalangan anak-anak Baha’i.
“Pendidikan agama Baha’i tidak hanya untuk orang Baha’i. Harapannya semakin banyak orang yang belajar tentang hal ini maka semakin banyak orang yang berkontribusi dalam mewujudkan lingkungan yang lebih baik,” ujar Alma saat ditanya tentang harapannya terkait penerapan pendidikan agama Baha’i di sekolah.
***
Tulisan ini bagian dari program Workshop Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Posting Komentar